Kamis, 14 November 2013

Kreasi Lidah Kucing

Ngeteh yuuuk.....
Penasaran dengan renyah dan legitnya lidah kucing buatan mbak indah membuatku mencoba membuat sendiri di rumah. Tentunya dengan contekan resep dari Sang Master Indah :D

Berikut resepnya :

Bahan:

250 gr        Mentega
75 cc         Putih telur
140 gr        Gula halus
225 gr        Tepung terigu
60 gr          Maizena
50 gr          Keju parut untuk taburan


Kali ini aku bikin 2 macam kue lidah kucing keju dan kue lidah kucing coklat. Untuk lidah kucing keju aku tambahkan 150 gr keju cheddar parut, untuk perasa coklat aku masukkan coklat secukupnya sampai adonan berwarna coklat :D

Cara Membuat:


  • Kocok mentega dan gula hingga mengembang benar. Masukkan putih telur, teruskan mengocok hingga rata.
  • Masukkan tepung terigu dan maizena, kocok perlahan selama 1 menit hingga rata. Masukkan keju parut, aduk rata. Masukkan adonan ke dalam piping bag (plastik segitiga), gunting ujungnya.
  • Poles loyang dengan mentega. Semprotkan adonan ke dalam loyang, taburi bagian atasnya dengan keju parut.
  • Panggang dengan panas 150 derajat celcius  selama ± 20 menit.

Catatan:

Lidah kucing keju ini tidak akan terlalu melebar seperti lidah kucing biasa karena adanya keju. Karena itu, semprotkan adonan agak besar/lebar.
- See more at: http://ncc-indonesia.com/?p=2136#sthash.GCyGN3ov.dpuf

Bahan-bahan dasar kue: tepung terigu protein rendah, putih telur, gula, mentega, 
Waktu belanja loyang, nemu loyang bulet yang lucu..jadi beli deh..namanya ganti kue dolar bukan lidah kucing :p
adonan kue dlm cetakan sebelum dipanggang
Untuk toping aku kasih 3 macam keju parut, strimik, sama kacang almond yang ada di kulkas, entah lebihan bikin kue apa waktu dulu.
strimik

lidah kucing original


Pas bikin kue ini sepertinya aku kebanyakan masukin gula jadi kue gampang gosong :D

Tara ini nih hasil karyaku, Alhamdulillah bisa dimakan juga, walau rasa masih jauh dari lidah kucing mbak indah, hihi


Mutiara dari Semarang (my old short story)


Pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, kota seribu mimpi, membuat dadaku bergemuruh. Betapa tidak, bertahun-tahun yang lalu semua pikiranku, ku isi hari-hariku untuk bisa berada di kota ini. 

Berawal dari buku usang yang kutemukan di gudang rumahku.


Halaman satu 


Cahaya sungai turun ke tangga batu besar ini, diwarnai oleh kaca yang filter, sungguh luar biasa..




Satu kalimat itu lah yang kutemukan pada halaman pertama buku itu. Aku tak mengerti apa makna dari rangkaian kata di sana. Rasa penasaran mendorongku untuk menggerakkan tanganku membuka halaman selanjutnya.
                                                                              >----I>


“Bee!!” kudengar namaku tengah dipanggil oleh suara yang tak asing lagi di telingaku walaupun mungkin ini sudah tahun ke tiga sejak aku berpisah dengannya.


Seorang gadis mungil keluar dari kerumunan para penjemput penumpang kereta di pintu keluar Stasiun Semarang Poncol. Dia masih Rani-ku yang dulu, gadis manis yang selalu berpakaian rapi. 


Ayo cepat “Batu”, aku sudah tidak sabar ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.” Hm..sudah lama tak kudengar nama panggilan itu, memang sahabatku ini lah satu-satunya yang memanggilku demikian.


Rani segera menarik tanganku sambil memberi tanda supaya aku menurut dan mengikuti saja inginnya.


Dalam hitungan menit aku telah melaju dalam hiruk pikuknya lalu lintas kota Semarang.


Iseng aku mengajukan sebuah tebakan kepada Rani, “Tahu tidak kenapa kota ini disebut Semarang?”


“Pasti lah tahu, aku kan asli putri kota Semarang. Dulu ada seorang dari kesultanan Demak bernama Pangeran Made Mandan bersama putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat, di suatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren serta menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur kemudian dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang jarang (Asem Arang), sehingga daerah tersebut diberi nama Semarang. Rani menjawabnya dengan penuh semangat.


“Aku salut padamu. Memang tak diragukan lagi kemampuanmu dalam bidang sejarah, Nona. Namun kali ini sepertinya Anda masih belum beruntung. Konon katanya, pada dahulu kala di kota ini, ada seorang penduduk yang kehausan karena telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Ketika rasa dahaga menyerangnya akhirnya dia membeli es dawet, mengetahui orang itu sangat kehausan, si penjual es dawet memanfaatkan kesempatan emas ini, tidak tanggung-tanggung es dawet itu dijual dengan harga sepuluh kali lipat dari harga biasanya, coba kau bayangkan, Nona betapa tidak beradabnya si penjual es dawet. Kemudian secara reflek si pembeli berkomentar, “Asem ik Larang.” Dan sejak saat itulah kota ini disebut Semarang.” Aku bercerita menggebu tak kalah semangatnya dibanding Rani.


Rani terlihat manyun, aku cekikikan puas melihat raut mukanya yang sewot. Namun itu tak bertahan lama, sebentar saja dia sudah terlihat ‘jinak’ dan ikut tertawa bersamaku.


Kita lupakan sejenak perihal asal-usul nama kota semarang, mobil terus melaju, Rani memberitahuku bahwa kita sekarang sedang di Jalan Imam Bonjol. Mobil berjalan lurus ke arah selatan. Setelah beberapa lama, kini aku telah berada di tengah kota semarang, berdiri Tugu Muda dengan gagahnya. Rani membiarkanku dengan segala kekaguman. Setelah mobil berbelok ke arah timur, rasa takjubku membuncah, dari sela-sela pagar besi terlihat sebuah bangunan menjulang tinggi. Inikah yang dijuluki sebagai “Mutiara dari Semarang"
                                                                        >----I>

Saat ini aku benar-benar terpaku, ingatanku berlari pada hari-hari yang lalu.


Halaman dua


Tak kusesali di sini selama sisa usiaku..tempat jiwa ini berlabuh..kokoh menjulang tinggi..

Lawang Sewu




Walaupun tidak sama persis dengan goresan gambar pada buku itu aku bisa mengenalinya. Terlihat kurang terawat namun bekas garis-garis keindahan masih terpancar di sana. Sisa-sisa kejayaan di masa lalu.


Rasa lelah setelah melewati perjalanan yang bisa dibilang tidak mudah belum hilang namun aku merasa sangat sebanding dengan yang apa yang bisa kulihat di hadapanku. Mungkin jarak Kota Malang menuju Kota Semarang tidak lah jauh. Walaupun begitu kondisi keluargaku yang sedang kacau menyebabkan jarak kedua kota seolah bermil-mil dan tak mungkin terjangkau. Untuk biaya sekolah saja susah bagaimana mungkin aku masih tega untuk membebani ibu dengan biaya perjalanan menuju Semarang. Jadi semenjak kutemukan buku usang, yang membuat jiwaku penasaran setengah mati, kupendam dalam-dalam semua mimpiku tentang untuk bisa ke Semarang. 


Hingga hari itu tiba, dua hari sebelum aku berangkat menuju kota ini aku membaca sebuah berita yang mengejutkan di Koran, Mangkraknya Lawang Sewu Berbuntut Ricuh, di berita itu disebutkan bahwa Pemerintah Semarang berencana menjual Lawang Sewu yang sudah mulai tidak terawat kepada salah seorang investor lokal yang nantinya akan membangun Lawang Sewu menjadi sebuah hotel berbintang lima. Masyarakat kota Semarang masih pro dan kontra dengan keputusan tersebut. Kalau aku jelas langsung sependapat dengan pihak yang kontra, bagaimana mungkin sebuah bangunan bersejarah yang fenomenal serta merta akan dibiarkan hilang. Hal itu sangat mengusik hatiku sehingga tanpa perlu berpikir ulang, aku seketika itu juga memutuskan bagaimanapun caranya aku harus segera pergi ke Semarang untuk mencegah hal buruk terjadi pada Lawang Sewu.


Aku kumpulkan semua sketsa yang kubuat selama ini. Sebelumnya aku hanya berani menyimpannya di atas meja atau memajang beberapa di kamar tidurku, kini aku merasa benda-benda ini mungkin bisa sedikit menghasilkan uang. Jadi tak kutunda lagi untuk membawanya ke penerbit lokal, sebuah Majalah mingguan lokal di kotaku. Mereka menolak mentah-mentah karyaku. Aku tidak serta-merta menerima begitu saja, semua pendapat kunyatakan, dan setelah melalui kesepakatan yang alot akhirnya mereka memuat satu sketsaku yang menggambarkan keindahan Lawang Sewu. 


Aku mendapatkan uang untuk pergi menuju Semarang, memang tidak banyak namun aku rasa cukup untuk ongkos pergi dan pulang serta tinggal beberapa hari di sana. 


Perjuangan menuju ke Semarang nampaknya akan terasa panjang dan melelahkan. Berdesak-desakan di kereta ekonomi tidak lah menjadi masalah bagiku. Panas dan bau tidak enak tak bisa meruntuhkan niatku. Namun perjalan kali ini dimulai dengan satu hal yang sangat tidak mengenakkan.


“Tiket..tiketnya mana?” teriak seorang petugas kereta bertanya memeriksa tiket penumpang yang duduk tiga kursi di depanku.


Aku segera merogoh kantong menyiapkan tiketku namun betapa kagetnya kertas itu tak ada di sana. Dengan sedikit panik aku sekali lagi mencarinya dan memeriksa di dalam tasku. Masih saja tidak kutemukan, pasti jatuh ketika aku berdesakan naik kereta tadi. Hatiku berdegup kencang memikirkan segala kemungkinan jika ketahuan aku menumpang dengan tidak memiliki tiket. Aku yakin petugas itu tak akan mau tahu dengan semua penjelasanku. Jadi satu-satunya cara agar aku tetap bisa sampai ke Semarang adalah main kucing-kucingan dengan petugas kereta. Yup..petualangan yang menyenangkan telah dimulai pikirku. 


Memang sangat melelahkan harus menyusun strategi untuk menghindar setiap kali ada petugas yang memeriksa tiket. Namun kini aku bisa tersenyum puas telah mampu melewati semua itu.


Rani seolah bisa membaca perasaanku, dia tersenyum kemudian mengerlingkan mata memberi tanda kepadaku untuk segera memeluk mimpi selama ini.


Mobil berhenti tepat di sebelah kiri gedung. Aku segera beranjak keluar, kuayunkan langkah dengan pasti. Suasana sekitar gedung terlihat lengang.


Memang pantas jika bangunan ini disebut Lawang Sewu karena kulihat gedung ini mempunyai begitu banyak pintu serta busur-busur yang menyerupai rongga. Bangunan Lawang Sewu menganut gaya Romanesque Revival dengan ciri yang dominan yaitu memiliki elemen-elemen arsitektual yang berbentuk lengkung sederhana. Pada daerah pintu masuk di apit menara yang pada bagian atasnya membentuk “topola” persegi delapan berbentuk kubah. Untuk lantai bangunan dilapisi marmer cokelat dan hitam, serta keramik putih kusam berukuran 30 x 30 cm baik pada ruangan dalam maupun selasar.


Setelah memasuki gedung lawang sewu, kami disambut oleh seorang kakek tua. Melihat fisik kakek tua ini mungkin sudah berumur tujuh puluh tahun namun aku melihat pancaran sinar terang dari sorot matanya. 


“Perkenalkan nama saya Yusuf, orang-orang biasa memanggil Kek Ucup, saya juru kunci yang mengurus tempat ini.” Sapa kakek itu dengan ramah. Kulihat wajahnya begitu teduh.


Aku dan Rani saling bergantian memperkenalkan diri. Kemudian tanpa berbasa-basi aku segera mengungkapkan maksudku datang jauh-jauh ke tempat ini. Sejenak menekan egoku yang sudah lama ingin berkeliling menikmati setiap sudut tempat ini. Ada hal yang lebih penting dari itu, pikirku.


“Menurut informasi yang aku kumpulkan, Kek Ucup memiliki peran penting bagi keputusan yang nantinya akan diambil oleh Pemerintah Kota Semarang.” Kataku kepada beliau.


Aku membaca sebuah ekspresi berbeda dari wajahnya. Aku berkata-kata lagi, “ Aku tahu kakek sudah bertahun-tahun menjadi juru kunci tempat ini, jadi aku yakin pasti Kek ucup mengerti dengan maksudku, pasti Kek Ucup juga tak ingin jika benda yang sangat kita cintai ini akan musnah begitu saja.” 


“Percuma..semua sudah terlambat” kata beliau lirih sambil berlalu meninggalkan aku dan Rani.


Aku segera beranjak mengejar dan menghentikan langkahnya, “Apanya yang percuma Kek?Tidak ada kata terlambat untuk berjuang.”


“Benar kata Bee, kita harus bersatu menggagalkan semua ini!” tambah Rani


“Maaf, Kakek tidak bisa berjuang bersama kalian.” Aku membaca nada getir tirsirat dari kata-kata Kek Ucup namun beliau tetap saja kokoh dengan semua pendiriannya, untuk menyerah.


Sedikit lemas aku dan Rani keluar dari kompleks lawang Sewu. Orang yang menjadi salah satu kunci untuk lawang Sewu tetap bertahan telah putus asa, itu artinya aku dan Rani harus bejuang sendirian tanpa bantuannya, akan terasa lebih sulit namun aku yakin kita pasti bisa. Aku dan Rani berpegangan erat seolah saling berjanji untuk tetap kokoh berjuang mempertahankan Lawang Sewu.


Setibanya di rumah Rani, kami berdua terus memutar otak mencari cara yang efektif untuk mempertahankan Lawang Sewu.
                                                                             >----I>


Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami berdua sudah sibuk di bundaran sekitar Tugu Muda. Hari ini kami menggelar pameran jalanan di sana. Dengan berbekal peralatan seadannya kami menampilkan berbagai sketsa tentang lawang sewu serta cerita mengenai betapa berharganya bangunan bersejarah tersebut. Pameran tersebut diramaikan dengan puisi—puisi Rani. Dengan indah dan menggetarkan dia membacakan puisi-puisinya. Waktu berlalu, hari sudah sore namun kita belum juga berhasil mengajak masa yang banyak untuk mendukung usaha kita tetap memperjuangkan keberadaan Lawang Sewu.


Dalam perjalanan pulang mobil yang kami berdua tumpangi tiba-tiba ditabrak oleh orang yang tak dikenal. Mobil yang menabrak kami segera melarikan diri dan menghilang. Kami sedikit shock dengan kejadian itu. Aku yakin orang itu sengaja menabrak mobil Rani. Karena jelas-jelas saat itu kami melaju dengan kecepatan normal di tengah lengangnya jalan. Sepertinya mobil itu sudah mengikuti sejak lama, kebetulan saat itu aku duduk di depan, ketika jalanan benar-benar sepi aku melihat dari kaca spion, mobil di belakang kami mempercepat laju dan sengaja menabrak. Satu hal yang sangat mengejutkanku, walau sedikir samar tertutup kaca mobil yang agak tebal, tapi aku yakin mengenal satu sosok yang mengemudikan mobil itu. Alhamdulillah kami tidak mengalami luka-luka. Mungkin ini salah satu bentuk teror atas untuk memperingatkan kami agar tidak ikut campur dalam urusan Lawang Sewu.


Hari kedua mengadakan pameran jalanan kami tetap semangat dan percaya usaha kami akan berhasil. Kejadian yang menimpa kami pada hari sebelumnya, bukan menjadi penghalang bagi langkah kami. Sepertinya Allah menjawab semua doa, tak disangka perihal pameran jalanan kami mulai tersebar ke berbagai penjuru kota, banyak yang mulai simpatik dengan usaha kami sehingga hari ini massa yang berkumpul untuk mendukung kami sangat banyak. 


Beberapa hari kemudian, kami bersama-sama sibuk bekerja keras meminta kepada Pemerintah Kota Semarang untuk mengurungkan niat menjual Lawang Sewu.


Rupanya semua perjuangan tak sia-sia, Pemerintah mengabulkan keinginan kami. Satu lagi yang membuatku sangat lega, Pemerintah berjanji akan merenovasi dan merawat kembali Lawang Sewu yang sempat terbengkalai.


Hari ketika diumumkan keputusan itu merupakan hari dimana seolah aku bernafas dengan sangat bebas. Kini saatnya bagi diriku untuk menjalankan misi selanjutnya. Mewujudkan mimpi yang sempat tertunda, menyatu bersama megahnya Lawang Sewu.
                                                                              >----I>


Keadaannya masih sama seperti beberapa hari yang lalu ketika aku pertama datang ke tempat ini. Hanya saja tanpa Kek Ucup, kakek tua itu dikabarkan secara tiba-tiba menghilang. Aku berdiri di tengah ruangan, terdapat tangga naik menuju lantai dua. Tangga itu terbuat dari beton dan dilapisi tegel warna abu-abu. Pada bagian puncak tangga terdapat jendela kaca patri. Kota-kota di Belanda Rotterdam, den Haag, dan Amsterdam digambarkan di kaca. Di bagian atas jendela ada sebuah lambang dan di bagian bawah dihiasi gambar dua sosok perempuan yang memakai jubah panjang, begitu detail dan kaya warna. Pada jendela kaca patri juga bertaburan hiasan bunga-bungaan berwarna hijau, kuning, dan merah. 


Terbasuh sudah satu dahaga atas satu Tanya yang muncul dari halaman pertama buku itu. Aku berlari menaiki tangga itu dan berdiri tepat di dekat kaca patri. Sungguh mempesona namun sangat disayangkan ada banyak noda di jendela kaca patri tersebut. 


Kemudian aku menuju sebuah tangga spiral yang telah berumur lebih dari 100 tahun. Tangga tersebut tertutup lapisan tebal debu dan jelaga. 


Aku melanjutkan petualangan dengan menjelajahi ruang bawah tanah. Dulunya pada masa Belanda ruang ini berisi air digunakan sebagai pendingin ruangan. Namun ketika dikuasai oleh Jepang, ruang bawah tanah beralih fungsi sebagai penjara, tempat penyiksaan, dan pembantaian. Di sana ada penjara jongkok, penjara berdiri, dan meja tempat pemenggalan kepala. Aku sedikit miris melihat benda-benda yang menjadi saksi kekejaman Jepang pada masa itu.
Walaupun sudah menyusuri semua ruangan, masih ada satu hal yang mengganjal di pikiranku dan Rani. Perihal harta karun yang terpendam di Lawang Sewu seperti yang tertulis di buku itu.



Halaman Lima Belas


Tersimpan harta yang tak ternilai di setiap sudut Layaknya para Bajak Laut dengan harta karun di kapalnya. Terlihat jelas namun tampak tersembunyi..


Akhirnya meluncur juga satu tanya yang dari tadi sudah berputar-putar di kepalaku,“Benda bulat berwarna putih kusam yang melingkar di kran wastafel menurutku adalah sebuah cincin platina yang disamarkan”


“Jendela yang indah di lobi sebenarnya bukan terbuat dari kaca patri. Sebenarnya kaca itu merupakan batu mulia yang dibuat mirip menyerupai kaca patri.” Rani pun ikut berasumsi.


“Ada banyak emas batangan tersembunyi di ruang bawah tanah, tadi ketika cahaya senter mengenai permukaanya ada kilau yang tidak mungkin bisa muncul dari logam baja biasa.” Kataku lagi.


Begitulah selama hampir seperempat jam, Aku dan Rani secara bergantian mengungkapkan semua pendapat kita.


Mata kami berdua segera memelototi lagi kalimat dalam buku itu, waktu pun perlahan bergulir, kami tetap masih belum bisa mengerti. Kemudian entah datang ilham dari mana, secara bersamaan aku dan Rani tersenyum dan saling memandang. 


Kami baru menyadari bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan Harta Karun itu adalah Gedung Lawang Sewu ini sendiri. Satu persatu terlintas betapa menakjubkan semua yang ada di sini, peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya. Namun saat ini mulai terlupa dan diabaikan oleh anak bangsa.


Kami saling pandang dan tersenyum. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami. Namun aku bisa merasakan dan mengerti apa yang ada dalam pikiran kami masing-masing. 


Sebuah Janji untuk mengabdi sepenuh hati, berjuang mempertahankan keberadaan Mutiara dari Semarang, membuat anak-anak bangsa kembali peduli.


Seminggu setelah kembali ke kotaku, aku mendapat telepon dari Rani. Dia mengabarkan kalau Kek Ucup telah ditemukan meninggal bunuh diri dengan menyayat nadinya. Belakangan diketahui dari goresan darah pada dinding jika sebenarnya investor yang hendak membeli lawang sewu adalah kakaknya. Selama ini dia tertekan berada antara dua perasaan yang sangat bertolak belakang. Paksaan dari saudaranya dan kecintaannya pada Lawang Sewu yang selama ini sudah seolah menjadi bagian hidupnya. (Malang, 2010)

Countdown to Catching Fire

Katniss Everdeen

Tanggal 22 November 2013 Film Catching Fire resmi dirilis ke publik. Buat menyegarkan kembali ingatan tentang ceritanya, kali ini aku posting tentang review bukunya. 

“Api pemberontakan sudah tersulut. Dan Capitol ingin membalas dendam.”

Catching Fire merupakan sekuel kedua dari Trilogi The Hunger Games yang terbit tangal 1 September 2009 di Amerika (bulan Juli 2010 di Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama) setelah novel pertamanya, The Hunger Games laris di pasaran US dan bahkan internasional.
Kisah trilogi The Hunger Games berlanjut ketika Katniss Everdeen, bersama teman satu distriknya, Peeta Mellark, berhasil mengelabui Capitol dan memenangkan The Hunger Games. Catching Fire menceritakan kehidupan Katniss setelah ia menjadi pemenang dan merasakan kemewahan yang diberikan oleh Capitol padanya dan Peeta. Namun Katniss dan Peeta tidak merasa senang, melainkan menyesal dan merasa berdosa karena menyebabkan peserta lainnya tidak selamat. Perasaan menyesal itu bertambah ketika Tur Kemenangan keliling Distrik diadakan, dimana Katniss dan Peeta harus berhadapan dengan keluarga peserta yang tidak selamat di Arena dan menyampaikan permintaan maaf kepada penduduk distrik yang telah kehilangan slaah satu anggota distriknya.
Capitol yang sebelumnya marah akibat perlakuan Katniss dan Peeta yang mengelabui mereka dalam Games, jadi semakin panas. Mereka menganggap Katniss dan Peeta telah memulai pemberontakan. Maka di tahun berikutnya, Capitol mengadakan Quarter Quell (perayaan The Hunger Games ke 75) dan berbeda dengan tahun sebelumnya, Capitol memutuskan untuk mengambil peserta dari para Pemenang The Hunger Games yang masih hidup. Katniss dan Peeta, yang belum selesai menghadapi trauma pasca games, diharuskan untuk ikut dalam perayaan tersebut dan kembali ke Arena untuk bertarung sampai mati melawan Pemenang Hunger Games ditahun-tahun sebelumnya. (Sumber : http://hungergamesina.wordpress.com/the-hunger-games-trilogy-in-bahasa/catching-fire/)

Selasa, 12 November 2013

Filosofi Onde-Onde

Hari ini belajar hal baru berkaitan dengan manfaat "onde-onde" yang ternyata ampuh sebagai peredam amarah.  Kok bisa begitu?  Wanita dalam satu hari memiliki jatah 45.000 kata untuk dihamburkan. Kelebihan inilah yang membuat wanita jago jadi biang kerusuhan namun hanya sedikit wanita yang bisa memanfaatkan kelebihan ini dengan bijaksana,  untuk berkata-kata baik. Jika sedang kesal dan marah hal tepat yang harus dilakukan adalah DIAM. Berkata-katalah yang baik atau diam.

Cara pria mengungkapkan kemarahan berbeda dengan wanita,  pria cenderung menggunakan logika , jika marah para pria biasanya memilih diam atau pergi sedang wanita mengedepankan perasaan, meledak-ledak,  tidak jarang jadi berkata-kata yang menusuk hatiTerus apa hubungannya dengan onde-onde? Buat para wanita, jika mulai marah langsung comot onde-onde, hap..bahan dasar onde-onde adalah ketan,  butuh perjuangan lebih untuk mengunyah kue ini, sehingga kita tidak sempat berkata-kata. Setelah itu minum yang banyak biar hati dingin.

Buat yang beragama islam mungkin kita sudah ada contoh dari Rasulullah ketika sedang marah, yaitu jika berdiri duduk,  jika sudah duduk amarah  masih belum reda maka berbaringlah. Jika masih marah juga segeralah berwudhu kemudian sholat.

Serius banget sih bacanya..Saya hanya ingin menuangkan sedikit guyonan dari Ibu Rurin,  tidak ada paksaan untuk percaya kepada teori ini,  namun dibalik kengawuran ini semoga filosofi "Onde-onde" membawa manfaat bagi umat. 

Ssst...jangan lupa siapin onde-onde ya :D 
 

Kamis, 19 September 2013

Rumah Baca

Pada hakikatnya jauh di dasar hati 
aku sangat Cinta Membaca 
namun kini kenyataan yang terjadi sungguh pilu, 
lebih Cinta Membeli Buku




Toko Buku selalu menjadi momok dalam hidupku. Tempat yang rindu untuk kudatangi dan tempat yang kadang harus selalu kuhindari. Kalo udah masuk ke toko buku, termasuk toko buku online jugabawaannya kalap terus..
Saat ini masih ada berpuluh-puluh buku yang kubeli masih tersimpan rapi di dalam plastik pembungkusnya, hiks..Sekitar 20 buku yang aku beli waktu Om Gol A Gong lagi cuci gudang, sama sekali tak tersentuh. Juga masih banyak buku lain yang bernasib sama. 
Bukannya aku tak pernah lagi membaca buku sih, masih sama seperti dulu, di tempat tidur tak pernah sepi buku. Bacaan sebelum tidur masih terus berlanjut tapi ada kebiasaan jelek dalam membaca buku, yaitu pake acara gonta-ganti buku padahal belum tamat. Yasudahlah walo waktu takkan mau menunggu, suatu saat nanti satu persatu buku akan habis kulahap :D

Ganti topik ah..
Sejak jaman berburu dan meramu dulu aku berkeinginan untuk membuat sebuah "rumah baca". Aku menyebutnya demikian, lebih sederhananya sebuah perpustakaan, atau bahkan berpuluh-puluh buah pun juga mau. Sebuah tempat yang penuh dengan buku-buku tercinta. Sungguh sangat menyenangkan membayangkan aku berada di ruangan yang dipenuhi hal yang aku cintai, banyak orang yang nantinya akan berkumpul di sana, membaca buku-buku berat ala filsafat atau sekedar asyik membaca komik, pastinya nanti di rumah bacaku ada satu tempat khusus untuk menyimpan harta karun ONE PIECE. Selain sebagai perpustakaan tempat tersebut juga akan kujadikan sebagai markas untuk yang Cinta Menulis. Saling bercengkerama bersama, berbagi ilmu.
Di rumah aku lagi krisis rak buku, satu-satunya rak buku yang kupunya sudah penuh. Sebenarnya waktu beli lemari buku itu kurang berfikir tentang sisi fungsional, jadi lemari buku hanya terdiri dari 3 sekat dari kaca pula, lebih cocok buat lemari pajangan. Namun bagaimana pun juga aku sering berangan-angan, lemari buku itu adalah salah satu benda penting yang akan kuselamatkan untuk pertama kali jika terjadi kebakaran atau musibah lainnya, hihi..

lemari buku yang nelangsa, dipaksa bermuatan lebih...

Waktu nyari inspirasi bikin rak buku mudah, murah,untuk saat ini prioritas yang murah dulu, dan pasti tetap sedap dipandang mata, aku nemu posting tentang Rak Buku Tembus Pandang. Rak buku unik yang dirancang oleh Miro Lio ini memang lain dari model rak pada umumnya. Selain sederhana cara pembuatannya, fungsinya pun memberi kesan simple dan unik dimana buku yang diletakkan diatasnya nampak seolah melayang tanpa penyangga.

Gini cara bikinnya:

Siapkan plat besi berbentuk L, jangan lupa beri pengait pada bagian bawah agar sampul bagian bawah tidak bergelantungan



Nah..mudah kan cara membuatnya..
cantik lagi
cuman
mikir-mikir juga, butuh plat yang kuat untuk buku-buku yang tebal
daaaan....
kebayang susahnya waktu ambil buku paling bawah
jadi sebaiknya tumpukan buku gak usah banyak-banyak

Yuuuk bikin.......